....SELAMAT DATANG.... MUQODDAM, IKHWAN, AKHWAT DAN MUHIBBIN THORIQOH ATTIJANIYAH SEMOGA BERMANFAAT AMIN.. attijani sampang: DURROTUN NASHIHIN

Rabu, 20 April 2016

DURROTUN NASHIHIN


a. Pendahuluan

Kitab-kitab hadits menduduki posisi penting dalam khazanah keilmuan Islam. Para ulama klasik telah mencurahkan upaya begitu besar untuk menelurkan karya penanya melalui beberapa tulisannya yang kini dapat dengan mudah kita nikmati. Dalam deretan nama-nama ulama tersebut pastinya kita akan menemukan sebuah nama yakni Syaikh Utsman al-Khaubawy yang dikenal sebagai pengarang kitab Durrotun Nashihin yang cukup populer di Indonesia.

Beliau telah ikut memperkaya literatur-literatur yang berisikan mutiara-mutiara nasehat seperti Nashoih al-‘Ibad, dan juga Tanbih al-Ghafilin. Kehadiran kitab yang juga merupakan kitab yang dijadikan rujukan oleh banyak para dai ini ternyata juga banyak menuai kritikan dari tidak sedikit orang yang juga menjadi pembaca dari kitab ini. Nah, hal apa sajakah yang menjadikan kitab ini banyak dijadikan rujukan oleh para dai dan juga penyebab apakah yang menyebabkan sebagin orang enggan untuk merujuk ke buku ini? dalam makalah berikut maka akan dipaparkan mengenai sedikit info mengenai bagaimana kitab ini kemudian ikut pula dipaparkan tentang kajian dan respon dari  masyarakat Indonesia Indonesia.

b. Pembahasan

1. Mengenal Kitab Durratun Nasihin

Kita Durrotun Nasihin yang memiliki arti yaitu mutiara para penasehat merupakan suatu kitab yang menghimpun mutiara nasehat, peringatan-peringatan, dan juga kisah-kisah menarik yang meliputi ranah duniawi dan ukhrawi. Kitab ini sudah lama menjadi kitab yang dikaji di Indonesia. Dikaji, dan juga dipelajari oleh santri-santri pondok pesantren dan juga masyarakat Indonesia sendiri. kitab ini adalah sebuah karya pena dari Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi (ada yang menyebut al-Khubawi atau al-Khubuwi, wafat pada 1824 M). [1] Dalam muqaddimah kitabnya disebutkan bahwa beliau menetap di Konstantinopel. Tidak banyak biografi yang didapatkan, karena pada kitabnya sendiripun biografi pengarang kitab tidak dicantumkan.[2] Oleh karena itu, data tentang kapan tepatnya kitab ini masuk dalam Indonesia juga sulit ditemukan.

      Untuk sebuah latar belakang penulisan kitab ini disebutkan dalam kitabnya bahwa pada mulanya al-Khaubawy sendiri menyadari bahwa di daerah beliau terdapat beberapa kalangan masyarakat yang benar-benar menggemari untaian kata berupa nasehat-nasehat. Hal inilah yang mengguagah hatinya untuk membuat kitab yang berisi tentang untaian kata-kata nasehat . faktor laian yang mendukung asal mula penulisan kitab ini diungkapkan oleh pengarangnya sendiri yaitu, pada saat itu, al-Khaubawy merasa  adanya penyimpangan pada penyampaian nasehat-nasehat yang pada saat itu dibawakan oleh teman-temannya.
Dikatakan menyimpang, menurut al-Khaubawy sendiri, kadang kala dalam penyampaian-penyampaian tersebut jauh dari nilai yang dibawakan oleh al-Qur’an. Sayangnya, al-Khaubawy sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk dari sebuah penyimpangan tersebut. Belum lagi niat yang tulus ini terlaksana, al-Kahaubawy terserang penyakit sakit keras. Diceritakan dalam muqaddimahnya, bahwa saat itu beliau sampai merasa susah untuk berbicara. Dan pada saat itulah beliau bernazar apabila Allah telah menyembuhkannya dari cobaan penyakit tersebut, maka beliau akan menyusun suatu kitab nasehat yang mengasyikkan bagi pecinta pendengar nasehat khususnya, dan bagi masyarakat luas pada umumnya.[3]
Dan setelah kesembuhan itu diperoleh, maka mulailah al-Khaubawy menulis kitab yang pada saat ini sudah ada di tangan kita, yakni Durratun Nasihin yang berarti mutiara para penasehat. Penulisan kitab ini terjadi pada abad ke-13 Hijriah.

2. Sistematika Kitab Durrotun Nasihin

Secara umum, Kitab Durratun Nashihin yang mempunyai tebal sekitar 288 halaman ini, memuat berbagai kisah (hikayat) maupun keutamaan-keutamaan dari setiap ibadah. Misalnya keutamaan puasa, keutamaan bulan Rajab, Sya'ban, Ramadhan, serta shalat sunat (tarawih, witir, dluha, tasbih, dan tahajud). Kemudian, di dalamnya tertulis keutamaan atau fadilah shalat berjamaah, menghormati orang tua, dan berzikir, yang didukung dengan ayat-ayat Alquran. Totalnya memuat sekitar 75 pasal (penjelasan) keutamaan yang berkaitan dengan setiap topik yang dibahas.

Dan, setiap keutamaan-keutamaan dari setiap ibadah itu disertai dengan berbagai kisah dan hikayat yang diambil dari beberapa kitab lainnya. Di antaranya Zubdat al-Wa'izhin, Tuhfah al-Muluk, Kanz al-Akhbar, Durrah al-Wa'izhin, Syifa' al-Syarif, Daqaiq al-Akhbar, Firdaus Akbar, dan juga Bahjat al-Anwar. Penambahan kisah, cerita, atau hikayat yang dicantumkan pengarang Durratun Nashihin ini, tampaknya dimaksudkan agar keutamaan yang diterangkan atau pembahasan itu semakin menambahkan semangat bagi pembacanya untuk segera mengamalkannya.

Secara keseluruhan, Kitab Durratun Nashihin ini menghimpun sejumlah mutiara nasihat, peringatan, hikayat atau cerita menarik dan penjelasan hukum, serta permasalahan yang meliputi urusan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pantassaja kitab ini banyak dipakai oleh para muballighah, karena di dalamnya sendiri sudah tersusun materi-materi yang layaknya seperti uraian pidato ataupun ceramah. Hal ini dirasa wajar jika kita mengingat kembali bahwa nama kitab ini yaitu mutiara para penasehat. Yang juga pada awalnya kitab ini dibuat untuk para pecinta nasehat.

c. Hadits-Hadits dalam Durrotun Nashihin

Suatu karya yang lahir dalam hasil karya manusia, dalam bidang apapun itu pastinya tidak akan pernah terlepas dari respon orang lain sebagai pembaca dari hasil karya tersebut. Tak terlepas pula al-Khaubawy beserta karyanya yakni Kitab Durrotun Nashihin. Kitab ini disinyalir oleh banyak orang bahwa di dalamnya terdapat banyak hadits-hadits yang dlaif dan juga hikayat-hikayat yang tak mempunyai keterangan yang jelas.[4]  Sebenarnya, dalam pengambilan sumber, al-Khaubawy sendiri selalu menyertakan sumber di mana beliau mengambil data-data yang dikutipnya. Tapi memang, kitab-kitab yang dijadikan sebagai sumber ini tidak begitu populer dikaji oleh masyarakat banyak, bahkan bisa dikatakan asing didengar.

Untuk itu, pada makalah kali ini, setidaknya akan dipaparkan beberapa hadits yang sengaja diambil secara acak dari kitab tersebut, untuk kemudian diteliti mengenai kualitas sanadnya.[5]

1. HR. Turmudzi no. 2850 (bab fadilah membaca al-Qur’an)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ عَبَّادٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ الْهَمْدَانِيُّ[6] عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ وَذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ وَفَضْلُ كَلَامِ اللَّهِ عَلَى سَائِرِ الْكَلَامِ كَفَضْلِ اللَّهِ عَلَى خَلْقِهِ                                   

2. HR. Bukhari no. 2958 (bab fadilah bulan Rajab)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ ابْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.[7]

3. HR. Muslim no. 4867 (bab fadilah membaca kitab al-Qur’an)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَاه نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَخَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ أَبِي أُسَامَةَ لَيْسَ فِيهِ ذِكْرُ التَّيْسِيرِ عَلَى الْمُعْسِرِ[8]
4. HR. Bukhari no. 5991 (bab membahas perihal menangis)
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ حُصَيْنَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ[9] قَالَ كُنْتُ قَاعِدًا عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
5. HR. Ahmad no. 21169 (bab fadilah membaca al-Qur’an)
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ زَيْدٍ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِصَاحِبِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا يَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ يُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ[10]

6. HR. Muslim (bab fadilah bulan Rajab)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ عَبْدٌ أَخْبَرَنَا و قَالَ ابْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ زَادَ ابْنُ رَافِعٍ فِي رِوَايَتِهِ وَالْفَرَعُ أَوَّلُ النِّتَاجِ كَانَ يُنْتَجُ لَهُمْ فَيَذْبَحُونَهُ[11]

Dari keenam hadits yang diuraikan barusan, memang terlihat hanya satu hadits yang bermasalah yaitu HR. Tirmidzi no.2850. Sedangkan hadits yang lainnya dinilai shahih. Tetapi hal ini tidak serta merta manjadi kesimpulan untuk menolak pendapat yang mengatakan bahwa kitab ini memiliki banyak hadits dlaif.

d. Kisah-kisah dalam Durratun Nashihin

Seperti yang telah disinggung pada awal makalah, bahwa kitab ini juga terkenal memiliki banyak cerita-cerita yang juga ikut dicantumkan oleh sang pengarang yaitu al-Khaubawy. Berikut ini akan dipaparkan cerita yang banyak dikritik oleh beberapa pembaca dari kitab ini. Pertama, pada halaman ke-8 diceritakan bahwa ada seseorang yang bernama Muhammad yang tidak pernah shalat sama sekali. Lalu pada bulan Ramadlan ia mengagungkan bulan itu dan mengqadla’ seluruh shalat yang telah ia tinggalkan. Dan inti dari kisah ini mengesankan, seakan-akan semua orang tak mengapa tidak menunaikan shalat, asal diqadla’ pada bulan Ramadlan. Dan pastinya meninggalkan jejak kesan bahwa kewajiban shalat seakan tidak berharga. Kemudian, nama Muhammad yang tercantum di sanapun tak jelas adanya.
Kedua, dalam halaman ke-21 pada bab menciptakan ketentraman jiwa dengan cara musyahadah qudratillah terdapat satu cerita mengenai hikayat hidup seoarang pemuda yang tidak diketahui namanya yang memancing ikan. Kemudian hasil tangkapannya dirampas oleh orang lain dan ia berdoa kepada Allah agar Allah mengirimkan makhlukNya yang lain untuk embalas perbuatan si pencuri tersebut.  Ketiga, masih pada bab yang sama diceritakan bahwa ada seorang wanita yang baik hati untuk berbagi makanannya kepada seorang pengemis ketika mengalami musim paceklik di daerahnya. Dan ketika anaknya di hutan dibawa oleh serigala, maka Allah mengutus malaikat untuk memerintahkan pada serigala untuk memuntahkan kembali anak tersebut.

Ketiga cerita ini adalah salah satu contoh hikayat yang terkandung dalam kitab ini. Walau pada kenyataannya al-Khaubawy seringkali tidak menjelaskan siapa pelaku dalam cerita yang ia tampilkan pada kitabnya, namun pada beberapa cerita terdapat beberapa pengecualian.

e. Durrotun Nashihin di Indonesia

Ketika kita membincang kitab ini dalam konteks Indonesia, dalam kalangan akademisi sendiri menimbulkan wacana bahwa kitab ini tidak memiliki bobot ilmiah untuk dikaji. Hal ini dapat dipahami ketika ada karya tulis yang tertuang dalam beberapa media terutama lewat dunia internet. Banyak yang membincang tentang beberapa hadits dlaif dan juga kisah-kisah yang juga tidak sedikit berisi nama mubham di dalamnya. Selain itu, para akademisi ini mengatakan bahwa kitab-kitab hadits yang dijadikan rujukan al-Khaubawy sendiri bukan merupakan kitab-kitab hadits.
  
Tetapi lain halnya jika kita menjelajahi dunia internet. Dengan kata kunci Durratun Nashihin saja, maka tidak sedikit kita akan menjumpai banyak orang yang juga turut menjadikan kitab ini sebagai sumber tulisan dalam tulisan-tulisan mereka dalam dunia maya. Kemudian kitab ini juga tidak terlepas dari kajian-kajian yang ada dalam pondok pesantren di Indonesia. Pada umumnya pengajian kitab ini pada pesantren diselenggarakan tidak masuk dalam kurikulum pelajaran sekolah. Dan elemen yang paling banyak menggunakan kitab-kitab ini seperti para muballigh-muballigh (penceramah), hal ini terbukti bahwa seringnya mereka menjadikan kitab ini sebagai kitab pidato ketika hendak mengisi beberapa acara di moment-moment tertentu. Penerjemahan dalam bahasa Indonesiapun telah dilakukan oleh Abu HF Ramadlan dan juga Salim Bahreisy dalam rangka mempermudah konsumer kitab ini.

f. Dari Pemakalah

Kitab yang dinamai Durratun Nashihin memang memiliki respon yang berbeda-beda dari tiap pribadi pembacanya. Wajar jika seorang seseorang yang mempertimbangkan kualitas suatu hadits dengan detail dan teliti (baca:akademisi) akan banyak menuai kontra pada pemakaian kitab ini sebagai rujukan. Karena dalam kitab ini memang memiliki banyak hadits yang dlaif (walau pada penelitian kali ini lebih banyak ditemukan hadits shahih ketimbang dlaif). Dan hal ini menunjukkan juga bahwa tidak semua hadits yang terkandung dalam kitab ini memiliki nilai dlaif.

Walau banyak juga hadits-hadits dalam Durratun Nashihin yang tidak ditemukan dalam kutub al-tis’ah. Hal ini mengingat juga bahwa al-Khaubawy sendiri tidak menjadikan kutub al-tis’ah sebagai rujukan utama hadits. Sedangkan cerita-cerita yang tidak pernah terlepas dari tiap pemaparan bab-bab yang ada dalam kitabnya, pastinya memiliki tujuan sebagai media penarik para pendengar dalam rangka menumbuhkan semangat dalam menjalanan ibadah-ibadah yang diperitahkan dalam Islam. Terlepas dari penilaian negatif akan kitab ini, kitab ini memang dirasa pantas sebagai rujukan para dai dalam menyampaikan ceramahnya. Karena di dalamnya sendiri sudah persis menyertai buku pidato yang disertai dalil-dalil dalam tiap pembahasannya.

Namun, dibalik itu semua layaknya bagi kita sebagai akademisi untuk lebih cermat ketika menjadikan kitab ini sebagai data sumber. Baiknya kita meneliti hadits yang akan kita jadikan rujukan. Walau pada nantinya hadits nya akan berstatus daif, karena memang ada yang memberi tolerir pada hadits dlaif pada wilayah fadlail ‘amal. Apalagi kalau memang tujuannya agar menarik perhatian masyarakat untuk selalu melaksanakan ibadah.

g. Kesimpulan dan Penutup

Kitab Durratun Nashihin ini merupakan karya Utsman al-Khaibawy yang disusun berdasarkan motivasi untuk para pecinta nasehat. Selanjutnya pembuatan kitab ini berdasaran nazar beliau ketika sembuh dari sakitnya. Kitab ini berisi sekitar 75 pasal (penjelasan) keutamaan yang berkaitan dengan setiap topik yang dibahas. Dan pada setiap keutamaan-keutamaan dari setiap ibadah itu disertai dengan berbagai kisah dan hikayat yang diambil dari beberapa kitab lainnya. Satu sisi, kitab ini menjadi kajian populer di kalangan non akademisi, dan sisi lain banyak akademisi yang mengkritik kitab ini sebagai kitab yang tak layak dijadikan rujukan karena banyak terdapat hadits-hadits palsu dan juga cerita-cerita yang mubham nama pelakunya. Terlepas dari semua ini, pemakalah berrpendapat bahwa setidaknya kitab ini banyak kiut andil dalam media dakwah di Indonesia sendiri. Dan hal ini juga atu hal yang menyebabkan hal ini, karena didalamnya terdapat kisah yang memang berisi motivasi untuk para pembacanya agar giat dan gemar untuk beribadah.

Sekian makalah ini dipaparkan. Kritik dan saran pastinya diharapakan sebagai bahan untuk perbaikan makalah mendatang. 

[1]www.RepublikaOnline.com, diakses pada tanggal 16 Desember 2009.

[2] Kitab yang dijadikan bahan penelitian merupakan terbitan Maktabah wa Mathba’ah Thaha Putra Semarang.  Dari penelusuran melalui internetpun hanya diperoleh tahun wafat beliau.

[3] Lihat dalam muqaddimah Durrotun Nasihin, (Semarang: Thaha Putra) tt.

[4]Salah satunya seperti yang dikutip www.abufaqhamaz.com dalam Majalah Assunnah Edisi 06/Tahun X/1427 H/2006 M, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz dan  Ahmad Luthfi Fathullah. Serta beberapa para komentator yang turut serta dalam pembahasan tema yang diusung dalam web site tersebut.

[5] Penelitian ini menggunakan software CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah, dan juga CD ROM ‘Alam wa al-Tarajim al-Rijal.  Dalam kitab Durratun Nashihin sendiri sebenarnya al-Khaubawy tidak pernah mencantumkan rrantai perawi dalam tiap-tiap hadits yang ia cantumkan dalam kitabnya. Dalam makalah ini sengaja dicantumkan agar mudah untuk mengetahui rantaian nama rawi tersebut bersta penilaian para kirtikus hadits.

[6] Muhammad bin Hasan dinilai sebagai rawi yang dlaif oleh banyak kritius seperti Ahmad bin Hanbal, Ya’qub bin Sufyan, Abu Daud, dan juga Abu Hatim al-Razy. Sedangkan Yahya bin Mu’in menilainya sebagai rawi yang kadzzab, dan al-Nasa’i menilainya sebagai rawi yang matruk.

[7] Hadits ini dinilai shahih karena memang tidak terjadi satu cacatpun yang diperoleh dari penelitian rawi-rawi yang meriwayatkan hadits ini.

[8] Hadits ini dinilai shahih karena memang tidak terjadi satu cacatpun yang diperoleh dari penelitian rawi-rawi yang meriwayatkan hadits ini.

[9] Husain bin Abdurrahman dinilai sebagai rawi yang memiliki hafalan yang buruk, tetapi mayoritas kritikus menyatakan bahwa dirinya termasuk rawi yang tsiqah seperti Ahamd in Hanbal, Yahya bin Mu’in, Abu Zar’ah al-Razy, ‘Ajaly, dan Ya’qub bin Sufyan.

[10] Hadits ini dinilai shahih karena memang tidak terjadi satu cacatpun yang diperoleh dari penelitian rawi-rawi yang meriwayatkan hadits ini.

[11] Hadits ini dinilai shahih karena memang tidak terjadi satu cacatpun yang diperoleh dari penelitian rawi-rawi yang meriwayatkan hadits ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar