Syeikh
Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa
kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah),
lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk
kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan
mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual,
antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas
dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di
lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
----------------------------------------------
Sejak
kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari
beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu
Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan
Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut
dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk
pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
tergolong
ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah
dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,
dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah
kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu
sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn
Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan
at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil
al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap
Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama
besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali
terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn
Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.
Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan
sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn
‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi
teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia
dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat
Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan
penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski
ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn
Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok,
bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang
melegenda ini.
Pengarang
kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin,
Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari
al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek
moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang
berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan
Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar
ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar.
Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung
ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan
hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun
658 sampai 679 H.
Ayahnya
termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah
al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya
“Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku
menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau
mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah
yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis
pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga
Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek
dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.
Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah
seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada
masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena
Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih,
hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak
tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh
karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu
Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya
adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan
serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas
al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah
(Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,
...
dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah
datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang
quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami
Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan
timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ”
Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid
dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap
kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim
fiqih ini”.
----------------------------------------------
Pada
akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.
Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh
sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku
biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa
ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama
seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim
ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena
kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita:
“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,
yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa
yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim
adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa
ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan
gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’
tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada
cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu
ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia
bertanya-tanya dalam hatinya :
“apakah
semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku
tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung,
mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa
al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia
orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian
halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan
tasawuf.
Lalu
aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan
tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan
sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak
menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala
puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam
hatiku”.
Maka
demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia
punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan
masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk
sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani
memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang
guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan :
“Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir.
Belum
sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba
beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu
Naasyi’.
Dulu
dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan
sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata :
“Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan
berkhidmat saja pada tuan?”.
Aku
memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah
bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku
beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka
sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan
Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian
panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan
sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan
kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas
pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh
Allah”.
Masa ketiga
Masa
ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo.
Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun
709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah
dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan
kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan
hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang
uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.
Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut
Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang
tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang
ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang
untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan
tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah
sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi
penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban
di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke
Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata:
“Ibnu
Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan
memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari
salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau
pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”.
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :
“Ibnu
Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan
dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena
dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli
hakekat dan orang orang ahli tariqah”.
Termasuk
tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh.
Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan
tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki,
pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
----------------------------------------------
Karya.
Sebagai
seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak
22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq,
falsafah sampai khitobah.
Kitabnya
yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia
Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar
oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan
At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil
Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul
Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua
ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa
kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun.
Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.
Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan
sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu
Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi
teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
----------------------------------------------
Al-Hikam Ibnu 'Ataillah
Kitab
ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk membezakannya
daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Syekh
Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita
untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang
ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab
Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam
paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti
Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar
bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi
dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak
Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada
ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak
dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia
mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan
yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur
kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya
sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak
mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi
yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu
tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada
asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta
pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup
moderat.
Ketiga, zuhud
tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi
adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia
adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis,
dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan
(al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia
semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak
ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya,
asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang
salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya
dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah,
tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk
kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha
merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha
menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya
sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para
salik.
Keenam, tasawuf
adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri
sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki
empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa
melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya
selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam
kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat
adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya
sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib,
yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang,
melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal
shalih lainnya.
----------------------------------------------
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi
dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu
Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai
pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan
keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi
menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya
dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di
antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah
sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam
Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang
puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu
si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa
memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah,
dia pasti menjawabnya”.
----------------------------------------------
Wafat
Tahun
709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut
wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke
alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah
al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah
dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring
kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
dikutip dari : http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah/
Pandangan Ibn ‘Athaillah tentang Maqam Sufi
Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).
Maqām
adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik,
yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal
maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika
dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala
bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu
keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses
usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan
yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi −
adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa
melalui proses usaha riyadhah.
Namun,
dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda,
dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari
seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām
dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa
salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan
kemampuan dirinya sendiri.
Pun
jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah,
yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga
bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua
perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai
suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan
angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat2. Maqam zuhud3. Maqam shabar4. Maqam syukur5. Maqam khauf6. Maqam raja’7. Maqam ridha8. Maqam tawakkal9. Maqam mahabbah
----------------------------------------------
Maqam Taubat
Taubat
adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum
mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam
lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa
adanya langkah awal yang benar.
Cara
taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur
dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang
salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari.
Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah,
maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia
mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia
segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk
mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai
bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada.
Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu
syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan
hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka
(husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah
perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu
sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa
sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam;
1.
Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam
perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong
dalam perhiasan duniawi.
2.
Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan,
cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait
dengan keduniaan”.
Hal
yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul).
Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan
mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan
mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah
demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai
dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām
zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa
cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan
duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah:
”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi
kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan
dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada
mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka
dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau
dapatkan”.
Inti
dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan
kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas
kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang
salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak
memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua;
- yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan
- saat kenikmatan dunia itu ada.
Ini
dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka
dia akan menghargainya dengan bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut
hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka
dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam
1. sabar terhadap perkara haram,
2. sabar terhadap kewajiban, dan
3. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
- Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
- Sedangkan
sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan
untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban
ibadah kepada Allah akan melahirkan
- Bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar
atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas
kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang
termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik
untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam
sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan
ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan
(angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
- Pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
- Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
- Ketiga,
syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang
Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam
syukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu
memberitakan kenikmatan (pada orang lain), syukur badan adalah beramal
dengan ketaatan kepada Allah, dan syukur hati adalah mengakui bahwa
Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari
seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn
‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk syukur orang yang berilmu
adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk
kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur orang yang diberi
kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka
yang membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa
jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan
kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih
lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2
bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Syhukur ẓāhir adalah melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin
adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah
dari Allah semata.
Manfaat
dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi
langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika
seorang salik tidak mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah
untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia
menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan
tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika
kalian bersyukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan
itu]).1
Jika
seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah
kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah
hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih
lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu
bersyukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu
kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan
menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun
pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah,
syukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus
bersyukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena
hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini
dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan
syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk
angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang
diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi
berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula
manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini
manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga
manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu
bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus
ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.
Maqam khauf
Seorang
salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas
sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki
kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah
berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik,
seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti
dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud,
ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia
tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan
urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf
seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi
dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari
rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’
tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn
‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu
rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya
berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika
dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat
apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh
pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika
engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah
segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar
Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau
berikan kepada-Nya.”
Rajā’
bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika
rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu
hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib
bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan
peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika
rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin
menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan
disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan
bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal
Riḍa
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah
ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika
maqam riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal
juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām
riḍa dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan
kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala
urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia
akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām
tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala
sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd
ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana
maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika
tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa
angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah
berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya,
dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika
sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan
(tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang
bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya
kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya.
Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi
perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir.
Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal
dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup baginya
perencanaan Allah atasnya.
Maka
bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia
telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya
riḍa telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian,
orang yang riḍa terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa
atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah
riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan
dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan
pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah
seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna,
daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak
ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang
(yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka
“Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali
lagi kepada-Nya.”Jika
seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh
mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang
menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada."
Meriḍai
qaḍā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat
disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang
meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa
dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta
membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat
mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana.
Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati.
Dengan riḍa atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi
tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang
wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya
juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi
segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat
mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa
yang akan datang.
Menyerah
kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh
mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan
ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana
firman Allah SWT.:
Hai
orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang
berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi,
atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka
tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh.
Yang
demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di
hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha
melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam
al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari
sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah
adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun,
Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah
bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala
angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang
telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan
balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa
rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan
balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang
yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang
dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang
dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah
(cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik
puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena
maḥabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh
maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain sebagainya. Dan tiadalah
maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh
permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”
SYARAH AL-HIKAM IBNU 'ATAILLA IBN 'ATHAILLAH SYARAH AL HIKAM SYARAH ALHIKAM KITAB AL HIKAM MENGAJI HIKAM
Dengan nama Allah yang
Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Selawat dan salam kepada junjungan besar Nabi
Muhammad s.a.w, keluarga baginda dan seluruh penolong-penolong agama-Nya.
Sebahagian
besar generasi terdahulu mendengar kehebatan kitab al-Hikam, mereka
mendalaminya, meneliti dan mengutip mutiara yang ada di dalamnya. Perjalanan
masa telah merubah manusia, pemergian generasi yang alim dalam bidang tasawuf
amat dirasai, sehingga kitab al-Hikam tidak lagi menjadi teks penting dalam
pengajian seharian, samada dalam sistem pendidikan formal maupun yang tidak
formal; kecuali sedikit. Sebahagiannya memberi alasan istilah dan penggunaan
bahasa yang digunakan sukar untuk difahami dengan sebaiknya. Pandangan ini
ditambah dengan sikap untuk menjauhi bidang tariqat dan tasawuf, menyebabkan
kitab yang bernilai ini diabaikan oleh generasi kini.
Oleh
itu, terdapat beberapa usaha untuk mentafsirkan kitab al-Hikam yang dilakukan
oleh sebahagian ulama, dan ternyata khazanah al-Hikam ibarat air lautan, yang
tidak akan kering bahkan lagi jauh penerokaan dilakukan, maka lagi banyak
khazanah yang dapat dikeluarkan. Umpama lautan, di permukaan manusia belayar,
di dalamnya ribuan jenis makhluk hidup, ikan, udang, ketam dan lainnya,
manakala di dasarnya menyimpan jutaan khazanah yang bernilai.
Buku
Syarah al-Hikam ini merupakan secebis usaha berterusan untuk menggali mutiara
yang masih tersembunyi di dalam kitab yang berharga ini. Usaha ini diharapkan
dapat menjelaskan kepada umum beberapa persoalan hidup dan kehidupan yang
dilalui oleh manusia, kerana putaran kehidupan manusia yang berkisar kepada
keperluan zahir dan batin, tidak akan terlepas dari merasai betapa agungnya
penciptaan manusia. Akibat fitnah dunia yang dilalui oleh manusia, maka
segala khazanah yang berharga telah hilang penilaiannya yang sebenar,
menyebabkan manusia bertungkus lumus mencari sesuatu yang akan ditinggalkan;
manakala yang akan dibawa diabaikan.
Kitab
ini juga diharapkan dapat memberi rangsangan kepada kita semua untuk
mendekati kembali jalan-jalan kebenaran yang sebenar melalui usaha
mendekatkan diri terhadap Allah s.w.t. Usaha ini tentulah lebih mudah kerana
penulis menjelaskan penunjuk-penunjuk bagi melaluinya. Dengan gaya bahasa
yang mudah dan ulasan yang baik, maka diharapkan buku Syarah al-Hikam ini
menjadi panduan bagi umat Islam umumnya dan pencinta kebenaran hakiki
memahami jalan-jalan yang sebenar bagi mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.
Semoga
dengan petunjuk Ilahi yang memandu kita kepada jalan kebenaran saya
mengharapkan buku Syarah al-Hikam ini dapat membantu pembaca memahami
khazanah yang amat bernilai yang ada di dalam al-Hikam. Di samping ianya
menambah koleksi tafsiran dan syarah terhadap kitab ini yang dilakukan oleh
para ulama-ulama yang lain.
Saya
mengakui penelitian saya yang singkat mungkin terdapat berbagai kelemahan,
dan saya mengharapkan agar kita menjadi peneliti yang baik bagi
memperindahkan lagi khazanah ilmu ini. Lantaran itu, sebarang pandangan baik
dan nasihat yang berguna diharapkan dapat kita kutip samada dari teks asalnya
ataupun syarah yang dilakukan oleh penulis.
Semoga kitab ini dapat dimanfaatkan oleh para
pembaca sekalian dan sekaligus memantapkan aqidah dan ibadah kita selaras
dengan tugas kita sebagai hamba Allah yang bertaqwa.
Sekian,
wassalamualaikum wrh wbt.
Akhukum fil Islam
Dato’ Hj. Tuan Ibrahim
bin Tuan Man
Pensyarah Kanan ITM Cawangan Pahang,
Bandar Pusat Jengka, Pahang.
.
|
Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi
Maha Penyayang. Segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara sekalian alam. Selawat
disertai salam atas yang paling mulia di antara Rasul-rasul, Muhammad
Rasul yang Amin, dan atas sekalian keluarga dan sahabat-sahabat baginda saw.
Daku reda Allah adalah Tuhan, Islam adalah
Agama, Nabi Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah Imam, Kaabah
adalah Kiblat dan Mukmin adalah saudara.
Wahai Tuhanku! Engkau jualah maksud dan
tujuanku dan keredaan Engkau jua yang daku cari. Daku mengharapkan kasih
sayang-Mu dan kehampiran-Mu.
Kitab
al-Hikam karangan Imam Tajuddin Abu Fadhli Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim
bin Athaillah Askandary boleh dianggap sebagai buku teks yang perlu
dipelajari oleh orang-orang yang mahu mendalami ilmu tauhid / tasauf serta
berjalan pada jalan kerohanian. Dalamnya mengandungi kata-kata hikmat yang boleh
dijadikan petunjuk jalan menuju Allah s.w.t dan mencapai keredaan-Nya.
Pada
mulanya daku mengenali Kitab al-Hikam pada namanya sahaja. Apa yang
diperkatakan adalah kitab ini merupakan sebuah kitab yang sukar difahami.
Hanya sedikit sahaja bilangan guru-guru yang mampu mengajarkan kitab ini.
Anggapan yang telah tertanam dalam fikiranku adalah hanya orang-orang yang
khusus sahaja layak mempelajari kitab tersebut. Oleh yang demikian daku tidak
pernah mencuba untuk mempelajarinya.
Kehendak
Allah s.w.t mengatasi segala perkara. Apabila daku dimasukkan ke dalam bidang
kerohanian timbullah minat dan kecenderungan untuk mengetahui isi Kitab
al-Hikam. Daku mula mempelajari syarah-syarah kitab tersebut yang boleh
didapati di kedai-kedai buku. Sedikit sekali kefahaman yang terbuka kepadaku.
Kemudian daku mempelajari kitab-kitab tasauf yang boleh daku dapati dari
berbagai-bagai sumber. Berbekalkan sedikit pengetahuan dalam ilmu tasauf,
daku mempelajari semula Kitab al-Hikam. Apa yang daku fahamkan itu daku tuliskan
sebagai satu cara pembelajaran. Beberapa orang sahabat telah membaca teks
yang asal dan memberi teguran yang membina. Hasil dari teguran itu daku tulis
semula Syarah al-Hikam ini.
Apa
yang daku fahamkan dan perolehi dari khazanah al-Hikam ingin daku kongsikan
dengan saudara-saudara Muslimku. Mudah-mudahan Allah s.w.t memberikan taufik
dan hidayat kepada kita semua.
Penyusun
Syarah al-Hikam ini bukanlah seorang yang alim dalam ilmu tasauf, apa lagi
ilmu fikah. Oleh itu adalah baik jika saudara-saudara yang membaca kitab ini
merujukkan kepada orang yang alim. Jika terdapat perbezaan pendapat di antara
isi kitab ini dengan perkataan orang alim, anggaplah kefahaman penyusun telah
tersilap dan berpeganglah kepada perkataan orang alim. Penyusun memohon kemaafan
di atas kesilapan tersebut. Sekiranya apa yang diperkatakan dalam kitab ini
adalah benar, maka sesungguhnya kebenaran itu dari Allah s.w.t. Hanya Dia
yang patut menerima pujian. Hanya kepada-Nya kita bersyukur.
Wahai
saudara-saudaraku yang daku kasihi.
Ilmu
adalah nur. Hati juga nur. Dan, Nur adalah salah satu nama daripada Nama-nama
Allah s.w.t. Nur Ilahi, hati dan ilmu berhubung rapat. Hati yang suci bersih
menjadi bekas yang sesuai untuk menerima pancaran Nur Ilahi. Hati yang
dipenuhi oleh Nur Ilahi mampu menerima Nur Ilmu dari alam ghaib. Nur Ilmu
yang dari alam ghaib itu membuka hakikat alam dan hakikat Ketuhanan. Hati
yang menerima pengalaman hakikat memancarkan nurnya kepada akal. Akal yang
menerima pancaran Nur Hati akan dapat memahami perkara ghaib yang dinafikan
oleh akal biasa.
Bila hati dan akal sudah beriman hilanglah keresahan
pada jiwa dan kekeliruan pada akal. Lahirlah ketenangan yang sejati. Hiduplah
nafsu muthmainnah menggerakkan sekalian anggota zahir dan batin supaya
berbakti kepada Allah s.w.t. Jadilah insan itu seorang hamba yang sesuai
zahirnya dengan Syariat dan batinnya dengan kehendak dan lakuan Allah
s.w.t. Bila Allah s.w.t memilihnya, maka jadilah dia seorang insan Hamba
Rabbani, Khalifah Allah yang diberi tugas khusus dalam melaksanakan kehendak
Allah s.w.t di bumi.
Khalifah
Allah muncul dalam berbagai-bagai bidang. Mana-mana bidang yang dipimpin oleh
Muslim yang bertaraf Khalifah Allah akan menjadi cemerlang dan kaum Muslimin
akan mengatasi kaum-kaum lain dalam bidang berkenaan. Khalifah ekonomi akan
membawa ekonomi umat Islam mengatasi ekonomi semua kaum lain. Khalifah
tentera akan membebaskan umat Islam dari kaum penjajah dan penindas
yang zalim. Khalifah dakwah akan membukakan Islam yang sebenarnya dan membersihkannya
dari bidaah, kekarutan dan kesesatan. Bila semua bidang kehidupan
dipimpin oleh Khalifah Muslim maka umat Islam akan menjadi umat yang teratas
dalam segala bidang.
Mulalah
bekerja membentuk hati agar ia menjadi bercahaya dengan Nur Ilahi. Nur Ilahi
adalah tentera bagi hati yang akan mengalahkan segala jenis senjata dan
segala jenis sistem, walau bagaimana canggih sekali pun. Bila Nur Ilahi sudah
memenuhi ruang hati umat Islam maka umat Islam akan menjadi satu puak yang
tidak akan dapat dikalahkan oleh sesiapa pun, dalam bidang apa sekalipun.
Insya-Allah!